REKANAN

Senin, 24 Januari 2011

BAB I (Pemikiran Filsafat Pendidikan Ar-Razi)


BAB I
PENDAHULUAN
 
A.  Latar Belakang Masalah,              
         Dunia pendidikan Islam pada umumnya masih dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari soal rumusan tujuan pendidikan yang kurang sejalan dengan tuntutan masyarakat, sampai pada persoalan metode, kurikulum dan lain sebagainya. Selain itu kenyataan juga
menunjukkan adanya kiblat pendidikan Islam yang belum jelas. Pendidikan Islam masih belum menemukan format dan bentuknya yang khas sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
         Hoodbhoy menilai bahwa yang paling bertanggung jawab atas keadaan yang menyedihkan di dunia Islam adalah ortodoksi dan fundamentalisme. Ia mencatat sekurangnya ada enam hal yang menjadi penyebab lemahnya etos keilmuan tersebut, yakni sikap dan pandangan filsafat, konsep pendidikan, konsekwensi dari sifat khusus hukum Islam, kelemahan formasi sosio-ekonomi, serta sebab-sebab yang berasal dari karakter khusus politik Islam.[1]
         Upaya pembangunan kembali etos keilmuan umat melalui sektor pendidikan dapat dilakukan dengan perumusan konsep-konsep pendidikan dengan berlandaskan filsafat yang menjamin berkembangnya dinamika dan kreatifitas. Hal ini dimungkinkan mengingat pendidikan bukan semata-mata persoalan didaktik-metodik. Permasalahan pendidikan jauh lebih luas dari pada sekedar teknik belajar mengajar di sekolah. Pemahaman dasar-dasar pemikiran yang melandasi penyelenggaraan aktifitas pendidikan sangat diperlukan dalam rangka penjernihan konsep dan ilmu pendidikan. Disamping itu pendidikan sendiri tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang melandasinya.[2]
         Upaya untuk memperbaiki kondisi kependidikan yang demikian ini tampaknya perlu dilacak pada akar permasalahannya yang bertumpu pada pemikiran filosofis. Diketahui bahwa secara umum, filsafat berupaya menjelaskan inti atau hakekat dari segala yang ada, dan karenanya ia menjadi induk segala ilmu.
         Ada dua pola yang biasa dilakukan dalam membangun konsep pendidikan di dunia Islam. Pertama, dengan mengkaji kembali warisan pemikiran tokoh-tokoh muslim masa silam, dan kedua, mengadopsi konsep-konsep baru yang sudah berkembang saat ini, khususnya di Barat.[3]
         Tanpa bermaksud mengabaikan kelebihan dan kekurangan masing-masing pola tersebut, kajian ini menekankan pada pola yang pertama, dengan harapan dapat mengaktualisasikan kembali gagasan pemikir muslim terdahulu yang sekian lama tersisih dari percaturan intelektual umat Islam.
         Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya ar-Razi (865 - 925 M), yang selanjutnya disebut dengan ar-Razi, adalah seorang ilmuan muslim yang  memiliki profesi sebagai seorang dokter, dosen, fisikawan, kimiawan, sekaligus seorang filosof.[4] Di bidang filsafat ar-Razi memiliki pemikiran yang sangat orisinil dan mandiri, yang dalam beberapa hal berbeda dari alur pemikiran kebanyakan ulama muslim pada masanya. Para filosof dan pemikir muslim pada umumnya berusaha menyelaraskan pemikirannya dengan agama,[5] sementara ar-Razi dikenal sebagai sosok yang memilih jalan filsafat (as-shirah al-falsafiyyah) untuk mendekati berbagai persoalan, termasuk persoalan keagamaan.
         Ar-Razi menempatkan rasionalitas pada kedudukan yang sangat netral, sehingga pemikiran-pemikirannya sering dipandang melampaui batas-batas ortodoksi agama.[6] Keberaniaan ar-Razi menempatkan akal logis sebagai kreteria utama bagi setiap bentuk pencarian pengetahuan dan prilaku manusia, menjadikannya sebagai seorang rasionalis. Ia tidak memberikan tempat bagi kekuatan irasional, yang hanya berpijak pada tradisi ataupun intuisi mistis. Karena itu ia juga menolak doktrin-doktrin keagamaan yang dipandang tidak memiliki dasar pembenaran secara logis.[7]
         Ar-Razi yang hidup dengan trend rasionalismenya berprinsip bahwa ilmu pada hakekatnya merupakan ilmu insaniyyah, yaitu hasil olah pikir dan daya tangkap indera manusia. Dengan semangat induktif yang dibawanya, ar-Razi berusaha memahami berbagai persoalan dengan mengedepankan daya nalar. Rasionalitas manusia, menurutnya merupakan pancaran cahaya Ilahi yang harus dijaga dan dikembangkan. Dengan pancaran cahaya Ilahi ini yang memungkinkan manusia menjangkau berbagai macam pengetahuan, termasuk ma’rifat al-Bari.
         Rasionalitas manusia, dengan seperangkat potensi inderawinya cukup memadai untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran hakiki. Ar-Razi tidak mentransendensikan ilmu sebagaimana al-Ghazali dengan epistemologinya yang bercorak transendental ilmiah. Al-Ghazali mengakui keberadaan (eksistensi) indera dan akal, tetapi instrumen insaniyah tersebut dipandang sangat terbatas daya capainya, sehingga tidak mampu menjelaskan kebenaran secara hakiki.[8]
         Menurut Ar-Razi, hal-hal yang harus ditanamkan dalam pribadi individu melalui proses pendidikan meliputi pengetahuan yang menjamin optimalisasi kemampuan akal, agar kecerdasan pikiran meningkat serta tumbuh kesadaran untuk berbuat adil. Pemikiran ini, yang antara lain, menjadikan dia berbeda dengan kecenderungan umumnya kalangan Sophis, yang condong pada kajian tata bahasa, sastra atau kefasihan bicara. Bahwa ar-Razi tidak mengkategorikan ilmu-ilmu ini sebagai hakikat ilmu (al-Ulum al-Hikmah). Konsepsi dia lebih dekat kepada pemikiran Sokrates atau plato yang menekankan pembinaan daya pikir (kecerdasan) dan hakikat ilmu (al-Uqul wa al-Hikmah).[9]
         Optimalisasi kualitas kognitif tidak cukup diartikan dengan transfer pengetahuan atau penumpukan hafalan, dan dengan peningkatan kualitas akal ini akan bermuara pada tatanan moralitas. Sehingga dapat mengangkat derajat manusia dengan kemuliaan akhlak melalui kontrol pribadi serta akan mampu membangun kesadaran akan tanggung jawab Ilahiyyah berbekal ilmu pengetahuan tentang Sang Pencipta (ma’rifat al-Bari).
         Didasarkan pada pemikiran di atas, menurut ar-Razi, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan manusia, sebagai pribadi maupum masyarakat, yang menjadikan sifat-sifat Tuhan sebagai acuan dalam menjalani kehidupannya. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Pandai, Maha Adil dan Maha Pengasih, yang sifat-sifat-Nya harus ditiru manusia. Manusia dituntut belajar agar menjadi pandai, mampu bersikap adil dan bijaksana serta penuh kasih sayang. Hamba yang paling disukai Tuannya (Allah Swt.) adalah hamba yang paling mampu mengikuti jejakNya. Hamba yang paling dekat adalah hamba yang paling pandai, paling adil dan paling penuh kasih sayang.[10]     
         Dalam hal pembinaan moral, Ar-Razi menawarkan dua upaya (metode), yang dalam perspektif teori pendidikan saat ini biasa disebut rasionalisasi atau klarifikasi nilai (value clarification) dan pembiasaan (conditioning). Melalui klarifikasi nilai diupayakan agar individu melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan setelah memahami berbagai konsekwensinya. Suatu perbuatan dapat dilakukan, apabila berdasarkan pertimbangan akal sehat tidak ditemukan di dalamnya akibat buruk (‘aqibah makruhah).[11] 
         Ar-Razi juga disebut sebagai peletak dasar pendidikan manusia secara menyeluruh (Falsafah al-Insaniyah asy-Syamilah), yang memandang manusia secara holistik, mulai dari struktur biologis, emosi, intelegensi, serta potensi-potensi lain yang dapat dibina agar menjadi manusia mulia.[12] Bagi Ar-Razi, hidup merupakan sebuah kesempatan untuk keluar dari kebodohan menuju kebahagiaan sejati melalui proses pendidikan. Untuk sampai pada kebahagiaan sejati perlu didahului dengan proses penyadaran atas hakekat diri dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak didahului oleh proses penyadaran berarti kebodohan, yang berpotensi menjerumuskan kearah penyimpangan. Gagasan ini merupakan esensi dari pendidikan yang membebaskan ala Ar-Razi, yang memiliki kemiripan konsep pendidikan pembebasan Paulo Freire.      
         Pemikiran Ar-Razi tentang manusia didasarkan pada konsep tiga macam jiwa Plato, dipadukan dengan pendapat pemikir-pemikir lainnya, khususnya Sokrates dan Aristoteles. Struktur kepribadian manusia terbangun atas ketiga macam unsur jiwa, yaitu unsur jiwa rasional dan ketuhanan (an-Nafs an-Natiqah wa al-Ilahiyyah), unsur jiwa amarah dan hewani (an-Nafs al-ghadlabiyah wa al-hayawaniyyah), dan unsur jiwa berkembang dan nafsu (an-Nafs an-Nabatiyyah wa an-Namiyyah wa al-Syahwaniyyah). Ketiga unsur ini harus diperlakukan secara seimbang. Kecenderungan ke salah satu potensi akan membentuk corak kepribadian tertentu.
         Hal ini menyiratkan bahwa Ar-razi lebih menekankan keberimbangan  (equilibrium) antara dimensi kehidupan jasmani dan rohani, antara dimensi kehidupan di dunia yang bebas, yang pada akhirnya kebebasan di dunia ini merupakan entry point untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
         Kajian atas pemikiran filsafat pendidikan ar-Razi dimaksudkan sebagai upaya mencari alternatif bagi pengembangan pemikiran pendidikan Islam, yang digali dari khazanah intelektual Islam sendiri. Hal ini sangat diperlukan mengingat dunia Islam sudah lama mengalami kemandegan dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, utamanya di bidang ilmu pengetahuan, yang sebagian disebabkan oleh lemahnya sistem filsafat yang dianut masyarakat muslim selama ini.[13]
B.   Rumusan Masalah,
         Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di muka, dapat dirumuskan permasalahan kajian sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pemikiran ar-Razi dalam pendidikan?
2.      Bagaimanakah relevansi pemikiran ar-Razi dalam pendidikan dengan konsep pendidikan modern, terutama pendidikan humanistik?
C.   Tujuan Kajian,
         Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang diharapkan dari kajian ini adalah sebagai berikut:
1.       Ingin mengetahui bagaimanakah pemikiran ar-Razi dalam pendidikan?
2.       Ingin mengetahui relevansi pemikiran ar-Razi dalam pendidikan dengan konsep pendidikan modern, terutama pendidikan humanistik.
D. Kegunaan Kajian,
         Adapun kegunaan dari kajian ini adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai upaya melihat kemungkinan aktualisasi kembali terhadap pemikiran ar-Razi dalam dunia kependidikan.
2.      Sebagai bahan sumbangsih pemikiran pada khazanah ilmu pengetahuan dan bagi pengembangan pemikiran pendidikan Islam.
E.      Data Kajian,
         Obyek kajian dalam tesis ini adalah Pemikiran Filsafat Pendidikan ar-Razi. Keterjalinan interaktif antara pemikiran filsafat ar-Razi dengan teori-teori atau pemikiran-pemikiran humanistik pendidikan menjadi tema sentral dalam kajian ini.
         Sumber data primer dalam kajian ini adalah buku al-Rasail Falsafiyyah,[14] yang memuat pemikiran-pemikiran filsafat ar-Razi, meski sebagian besar isi karya tersebut tidak ditulis langsung oleh ar-Razi, melainkan hanya disandarkan (mudlaf) kepadanya. Untuk itu diperlukan sumber data pendukung (skunder) yang memberikan ulasan menyeluruh tentang pemikiran filsafat ar-Razi, di antaranya: Ushul al-Fikr al-Falsafi ‘inda Abi Bakar ar-Razi, karya Abd al-Latief Muhammad al-‘Abd. dan Abu Bakar ar-Razi al-Failasuf al-Thabib karya Syaikh Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah. Pemikiran-pemikiran filsafat ar-Razi tersebut selanjutnya dianalisa dengan menggunakan teori-teori pendidikan sebagaimana yang berkembang dalam pedagogik.[15]
         Untuk menghimpun data kajian, digunakan teknik dokumenter. Penggunaan teknik ini didasarkan pada alasan karakteristik masalah dan sifat kajian.
         Teknik dokumenter adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan buku-buku tentang pendapat, teori dan lainnya yang berhubungan dengan masalah kajian.[16]
         Penerapannya dalam kajian ini adalah; pertama, ide dasar sumber primer, yakni pemikiran filsafat ar-Razi, ditangkap secara utuh, sebagaimana apa adanya. Kedua, ide tersebut disoroti melalui perspektif metode penelitian. Ketiga, dalam sorotan tersebut, dihadirkan berbagai teori-teori pendidikan para tokoh atau aliran filsafat tertentu yang relevan, untuk diketemukan persamaan, perbedaan atau kongruensinya. Keempat, dilakukan analisis lanjutan untuk mengembangkan analisis berelevansi. Langkah keempat ini diharapkan menghasilkan temuan dalam tesis ini.

F.   Metode Kajian,
            Sesuai dengan karakter permasalahannya, kajian ini menggunakan metode deskripif dan hermeneutik. Kedua metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Metode deskriptif, yaitu digunakan untuk menjabarkan pemikiran filsafat pendidikan ar-Razi secara utuh sebagaimana apa adanya. Melalui sifat itu, metode ini bersifat menemukan fakta-fakta (fact-finding) dan kemudian memberikan penafsiran terhadapnya.[17]
2.      Metode hermeneutik, adalah merupakan aliran metodologi yang berusaha untuk mengungkap makna atau pesan. Istilah ini secara sederhana berarti penafsiran. Sebagai istilah metodologis, hermeneutik diarti­kan mengubah sesuatu ketidaktahuan menjadi mengerti[18]. Objek hermeneutik dapat berupa pesan tekstual dan fenomena-fenomena sosiologis maupun historis.
         Penentuan Metode Hermeneutik, didasarkan pada alasan  pertama, bahwa kajian ini bersifat analisis dan merupakan kajian filsafat dan sejarah yang keduanya dapat ditemukan dalam metode hermeneutik. Kedua, karena corak hermeneutik memberi perhatian harmonis-dinamis terhadap studi filsafat dan sejarah dalam kerangka studi tekstual. Ada penekanan hubungan antara interpreter dengan konteks tradisi, sehingga teks menjadi hidup dan dinamis. Ketiga, diasumsikan bahwa ar-Razi, pemilik pemikiran/konsep yang dikaji, niscaya bermaksud menyampaikan gagasannya secara lintas waktu di depannya. Dengan demikian, fakta, fenomena, dan informasi yang telah dibentuk ke dalam teks merupakan data-data yang hidup dan dinamis untuk di interpretasikan dalam waktu yang berbeda.[19]

F.   Definisi Istilah,
         Agar terdapat kesamaan intepretasi dan menghindarkan kesalah pahaman dari maksud judul, penulis menampilkan penjelasan judul tesis “Pemikiran Filsafat Pendidikan ar-Razi”.
Pemikiran                    :  dapat diartikan sebagai produk berfikir atau memikirkan, yang sama artinya dengan gagasan.[20]
Filsafat  Pendidikan   :  adalah dua kata dari kata filsafat dan pendidikan. Filsafat berarti berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakekat mengenai segala sesuatu yang ada.[21] Pendidikan adalah proses pengubahan cara berfikir, sikap dan tingkah laku (individu maupun kelompok) dengan cara pengajaran, penyuluhan dan latihan, karena itu lingkup pengertiannya mencakup proses, perbuatan dan cara mendidik.[22]
Namun dua kata; filsafat dan pendidikan masing-masing bukanlah berdiri sendiri tapi satu kesatuan menjadi filsafat pendidikan, berarti suatu kajian filosofis mengenai berbagai masalah yang ada hubungannya dengan  kegiatan pendidikan.[23]

G.  Kajian Pustaka,
         Kajian pustaka terhadap pemikiran ar-Razi sudah dimulai sejak ia masih hidup, karena pemikirannya yang sangat kontroversial sehingga menimbulkan beragam kritik. Karena itu karya-karyanya dalam bidang filsafat banyak ditemukan dalam bentuk kutipan-kutipan dari para kritikusnya.[24]
         Kajian khusus terhadap pemikiran filsafat ar-Razi pernah dilakukan oleh Abdul Latief Muhammad al-‘Abd dalam Disertasinya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Ushul al-Fikr al-Falsafi ‘inda Abi Bakr ar-Razi. Buku tersebut mengkaji secara umum pemikiran ar-Razi, berkenaan dengan dasar-dasar pemikiran filsafatnya. Al-‘Abd juga membuktikan bahwa ar-Razi bukan seorang yang anti terhadap agama, meski ia banyak memberikan kritik terhadap agama.
         Abdullah Faruq Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1995, mengkaji aspek psikoanalisis. Berangkat dari pemikiran filsafat manusia ar-Razi dan memperbandingkannya dengan pemikiran Sigmund Freud, dengan judul Disertasi; Filsafat Manusia dan Implementasinya dalam Analisis Psikologi; Studi Perbandingan antara Konsep al-Razi dan Sigmund Freud. Abdullah Faruq Nasution mengkhususkan diri pada kajian filsafat manusia, dan berupaya mengidentifikasikan pemikiran ar-Razi sebagai satu bentuk pendekatan psikoanalisis, sekalipun konsep-konsep tersebut dibangun dengan telaah kefilsafatan (a priori) semata, Nasution menemukan beberapa segi kelebihan pemikiran ar-Razi dibanding telaah tokoh-tokoh yang lebih kemudian.
         Disamping itu terdapat karya lain tentang ar-Razi dan pemikirannya dalam bentuk buku, yakni Abu Bakar ar-Razi al-Failasuf al-Thabib karya Syaikh Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, dan Muhammad Ibn Zakariya ar-Razi, karya Abdurrahman Badawi, yang sifatnya sekedar ulasan tentang pemikiran ar-Razi, yakni seputar kontroversi pemikiran filsafatnya. Tulisan tersebut termuat dalam A History of Muslim Philosophy yang diedit M.M. Sharif. Dalam buku M. Saeed Syaikh yang berjudul Studies in Muslim Philosophy juga terdapat bab khusus Abu Bakar ar-Razi, demikian juga Nur Ahmed secara ensiklopedik membuat judul Ar-Razi (Rhazes 865-925) dalam bukunya Forty Great Men and Woman in Islam. Kajian ilmiah yang berupaya Memahami Pemikiran filsafat Pendidikan ar-Razi hingga saat ini belum penulis jumpai.

G.  Sistematika Pembahasan,
         Hasil kajian ini akan dipaparkan dengan sistematika sebagai berikut:
         Bab I berisi pendahaluan, yang berfungsi sebagai pengantar untuk menjelaskan kelayakan, urgensi permasalahan dan arah kajian, yang untuk itu disertakan pula perangkat metodologi yang akan digunakan. Bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan kajian, data kajian, metode kajian, definisi istilah, kajian pustaka dan sistematika pembahasan.
         Bab II mengemukakan landasan teoritis; tentang pemikiran filsafat ar-Razi, sebagai landasan perumusan teori-teori pendidikan. Bahasan ini berfungsi sebagai parameter dalam menentukan relevansi pemikiran filsafat seorang tokoh (ar-Razi) dengan persoalan-persoalan pendidikan.
         Bab III menyajikan pemikiran filsafat pendidikan al-Razi yang memiliki keterkaitan dengan persoalan konsep pendidikan modern, menyangkut hakekat dan tujuan hidup serta pemikiran ar-Razi dalam perumusan tujuan pendidikan, konsep ilmu, tinjauan psikopedagogik atas konsep manusia ar-Razi dan perumusan metode pendidikan. 
         Bab IV merupakan kajian berupa pemikiran humanistik ar-Razi dalam pendidikan, yang dituangkan dalam beberapa aspek pendidikan.
         Bab V menyajikan kesimpulan dari serangkaian kajian ini, disertai pemikiran atau saran-saran yang terkait dengan hasil kajian.














[1] Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar menegakkan Rasionalisme, antara Sains dan ortodoksi Islam, Terjemahan Sari Meutia, Mizan, Bandung, 1996, hal. 202 - 3
[2] J.Sudarminta, Sumbangan Filsafat Pendidikan bagi Pengembangan Ilmu Pendidikan di Indonesia, dalam (jurnal) Basis, No. 2, XLII, Pebruari, 1994, hal. 41-2. Bandingkan dengan Munir al-Mursyi Sarhan, Fi Ijtima’iyyat at-Tarbiyyah, Kairo, Maktabah al-Angelo al-Misriyyah, 1978, hal. 40
[3] Sayyid Sajjad Husain dan Sayyid Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, terjemahan Rahmani Astuti, Bandung, Gema Risalah Press, 1994, hal. 12-3
[4] Selengkapnya dapat disimak Mahmud ‘Atif al-Iraqi, Madzahib Falasifah al-Mashriq, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1975, hal. 56
[5] Di kalangan filosof Muslim terdapat kecenderungan menempatkan filsafat  di bawah bayang-bayang agama. Mujayadi, Dilema di dalam Filsafat Islam,  dalam Jurnal Filsafat, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Seri 18, Mei 1994. hal. 19– 20. Dalam sejarah Islam, pada mulanya para teolog (mutakallimin) menggunakan filsafat untuk membela iman dari serangan cendekiawan Yahudi dan Kristen yang saat itu lebih maju secara intelektual, dan para filosofnya mencoba membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpulan filsafat tidak bertentangan dengan agama…, Budhy Munawar Rachman, Filsafat Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis, ed., Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta, Paramadina, 1996, hal. 317. Ar-Razi relatif lebih netral dibanding para filosof lain semisal al-Farabi, yang berusaha menyeleraskan antara wahyu dan hukum syari’at dalam struktur rasionalitas, atau Ibnu Sina yang berusaha mengintegrasikan pemikiran metafisik dengan tradisi Islam. Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Jilid II, Chicago, The University of Chicago Press, 1974, hal. 171.
[6] Radikalitas pemikiran ar-Razi telah menyebabkan beberapa kritikus menyebutnya “sang atheis” (al-mulhid). Di awal bahasannya Ibrahim Madzkour menyatakan bahwa pemikiran ar-Razi tidak kalah bahayanya dibanding pemikiran orang-orang zindiq seperti Ibn Rawandi. Ibrahim Madzkour, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, bagian I, Terjemahan Yudian W.A., Ahmad M., Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 101.
[7]Abdurrahman Badawi, Muhammad Ibn Zakariyya Ar-Razi, dalam M.M. Sharif, Ed., A History of Muslem Philosophy, New Delhi, Low Price Publication, 1985, hal. 439
[8] M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, Suatu Tinjauan Psikologik-Pedagogik, Yogyakarta, CV. Pedoman Ilmu Jaya, hal. 70-5
[9] Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, Terjemahan Bumi Aksara, Jakarta, 1986, hal. 32-33. Lihat juga Ar-Razi, At-Tibb ar-Ruhani, hal. 43
[10] Ar-Razi, As-Sirah al-Falsafiyyah, hal. 70
[11] Ar-Razi, at-Tibb ar-Ruhani, hal. 22-23
[12] Ar-Razi, Ibid, hal. 27
[13] Implikasi dari lemahnya sistem filsafat tersebut digambarkan sebagai rangkaian dari sejarah surutnya pemikiran rasional yang banyak menafikan potensi pribadi manusia. Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1996, hal.7-8. Bandingkan dengan Nurcholis Madjid, Kekuatan dan Kelemahan Paham al-Asy’ari Sebagai Doktrin Akidah Islam, dalam Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Paramadina, 1992, hal. 284. Simak pula Amin Abdullah, Konsepsi Etika al-Ghazali dan Immanuel Kant; Kajian Kritis Konsepsi Etika Mistis dan Rasional, dalam al-Jam’iyah, No. 45, 1991, hal. 13. Kondisi ini dikaitkan pula dengan semakin rendahnya minat terhadap ilmu-ilmu teoritis dan semangat untuk berfikir bebas, yang ditunjukkan dengan apresiasi yang rendah terhadap sains di kalangan ilmuwan muslim pada masa-masa selanjutnya. Sosok seperti ar-Razi, oleh Hoodbhoy, dipandang sebagai ilmuwan muslim yang memiliki jangkauan pemikiran yang jauh melampaui masanya. Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalisme, antara Sains dan ortodoksi Islam, terjemahan Sari Meutia, Bandung, Mizan, 1996, hal. 206-7 dan 188-9.
[14] Ar-Razi tidak menulis secara khusus permasalahan yang langsung menyangkut pendidikan, seperti Al-Zarnuji misalnya, tetapi pemikiran-pemikiran filsafatnya memeliki relefansi dengan urusan pedagogik.         
[15] Pedagogik atau ilmu pendidikan di definisikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah-masalah pendidikan yang bersifat umum, menyeluruh dan abstrak. Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Suatu Tinjauan, Yogyakarta, Andi Offset, 1986, hal. 5
[16] Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,Yogyakarta, Gajah   Mada University Press, 1991, hal.133.
[17]Hadari Nawawi, Ibid, hal. 73-76, dan 78
[18]Jon Avery dan Hasan Askari, Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis,Surabaya, Risalah Gusti, 1995, hal, 164.
[19] Josep Bleicer, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutic as Method, Philosophy and Critique, London, Boston and Henly; Routledge & Kegan Paul, 1980, hal. 47-96          
[20] Imam Hanafi Jauhari, Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, Yogyakarta, Ittaqa Press, 1999, hal. 1
[21] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, Cet. ke 2, Jakarta, Bulan    Bintang, 1967, hal. 15
[22] Peter Salim dan Yani Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta, Meodern English Press, 1991, hal. 353. Sejalan dengan itu, Poerwadarminta dan Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia Indonesia Depdikbud RI menjelaskan pengertian mendidik dengan memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. V, Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1976, hal. 250. Bandingkan juga dengan Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1988, hal. 204. adalah suatu usaha sadar dan terencana agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
[23] Dr. H. Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV. Logos, Jakarta, hal. 15
[24] Buku Al-Rasail Falsafiyyah yang memuat pemikiran-pemikiran filsafat ar-Razi di susun berdasarkan kutipan-kutipan dari para kritikusnya. Di bawah judul Rasail Falsafiyyah diberi sub-judul Mudlafun ilaiha Qit’an min Kutubihi al-Mafqudah. Lihat Lajnah Ihya’ at-Turas al-‘Araby, ed., Al-Rasail Falsafiyyah, Beirut, Dar al-Afaq al-Jadidah, 1973.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar anda, kita sharing bersama ......!!! Sertakan Web, Blog, Facebook Atau Jejaring lainnya......!!!! Thaks Before .......

Template by : dinQari it-punya.blogspot.com