BAB III
PEMIKIRAN PEDAGOGIK AR-RAZI
Secara teoritis, filsafat ar-Razi memungkinkan untuk dikembangkan sebagai landasan yang dapat melahirkan pemikiran-pemikiran baru di bidang pendidikan. Pola yang dapat ditempuh adalah dengan menjadikannya sebagai pijakan dalam memahami
persoalan-persoalan mendasar dalam pendidikan, mengingat adanya kenyataan bahwa problem-problem utama filsafat juga merupakan problem utama pendidikan.[1]
persoalan-persoalan mendasar dalam pendidikan, mengingat adanya kenyataan bahwa problem-problem utama filsafat juga merupakan problem utama pendidikan.[1]
Dalam hal ini filsafat ar-Razi diposisikan sebagai pandangan hidup (way of life) atau pandangan dunia (world view) yang memuat konsep-konsep pemikiran tentang dasar realitas atau kebenaran yang diyakini dan ditempatkan sebagai realitas yang senyatanya (Das Sein). Pemahaman atas realitas mendasari rumusan tentang cita ideal kehidupan, sebagai bagian dari tujuan hidup yang diharapkan adanya (Das Sollen). Nilai-nilai kebenaran yang diyakini diupayakan dapat ditanamkan dalam kehidupan kemasyarakatan, baik dalam tatanan sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, maupun berbagai aspek kehidupan lainnya melalui berbagai cara, di antaranya lewat proses pendidikan.
Secara fungsional filsafat ar-Razi dapat dijadikan dasar perumusan teori-teori pendidikan yang lebih spesifik. Pemikiran metafisika yang mengkaji hal-hal di balik dunia fisik memberikan bekal pemahaman tentang hakekat, makna dan tujuan hidup, yang menjadi bagian integral dari tujuan pendidikan, dengan melibatkan pemahaman atas persoalan-persoalan kosmologi.[2]
Filsafat manusia ar-Razi memberikan bekal pemahaman tentang hakekat manusia, yang membantu pemahaman potensi-potensi psikis. Di dunia pendidikan, pemahaman kejiwaan penting artinya untuk dapat memberi perlakuan yang tepat terhadap subyek didik dalam proses pendidikan.
Pandangan epistemologi ar-Razi memberi gambaran tentang sumber, metodologi serta jenis pengetahuan, termasuk sistem nilai yang harus diajarkan. Hakekat ilmu atau pengetahuan yang menjadi substansi pendidikan ditentukan oleh pandangan epistemologi yang digunakan. Karena itu pandangan ini terkait dengan filsafat moral yang menyajikan konsep kebenaran berkenaan dengan tata nilai, sebab dalam tataran praktis ilmu tidak dapat dilepaskan dari nilai. Pemikiran filsafat pendidikan ar-Razi selengkapnya dapat dijelaskan ke dalam beberapa sub bab berikut:
A. Hakekat Tujuan Hidup dan Perumusan Tujuan Pendidikan.
Dari sudut pandang filsafat pendidikan, pemikiran ar-Razi dalam beberapa hal sejalan dengan pandangan esensialisme, terutama yang dibangun berdasarkan idealisme obyektif, mengingat tinjauannya yang bersifat menyeluruh mengenai manusia, alam semesta, serta beberapa segi pemikirannya yang bersifat spiritual. Beberapa pandangan mengenai realitas dalam pemikiran ar-Razi dapat dibandingkan dengan pandangan esensialisme, di antaranya adanya pandangan bahwa di balik dunia fenomenal terdapat Jiwa Tak Terbatas yaitu Tuhan sebagai Pencipta kosmos, Jiwa Yang Mutlak --yakni Ruh-- tersebut menjelma pada alam, di mana Ruh mempunyai inti yang disebut idea atau berfikir, berupa kekuatan akal yang dipandang sebagai pancaran Jiwa Universal (an-Nafs al-Kulliyah) Ilahi. Karena itu kekuatan akal memungkinkan manusia mencapai kebenaran Ilahiyah.[3]
Doktrin lima hal yang kekal (al-Qudama al-khamsah) yang menyajikan beberapa kajian tentang waktu, ruang kehampaan, serta perpindahan jiwa memiliki implikasi luas guna dikembangkan sebagai dasar pemahaman masalah kosmologi. Di antara ciri penafsiran idealisme --yang menyokong tegaknya esensialisme-- tentang sistem dunia tersimpul dalam pengertian-pengertian makrokosmos dan mikrokosmos.
Pemahaman atas alam seisinya sebagai makrokosmos berarti memandang semesta sebagai kesatuan kosmis, sementara manusia sebagai individu yang terdiri dari jasmani dan rohani ditempatkan sebagai mikrokosmos, fakta tunggal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan sistem semesta. Pemahaman keduanya mendasari pemahaman mengenai asal-usul dan arah kemana tujuan kehidupan akan menuju. Pemahaman masalah ini selanjutnya mendasari penentuan sikap dalam mengarifi kehidupan.
Filsafat ar-Razi membantu memahami konsep penciptaan berdasarkan pemahaman atas hakekat Tuhan, alam semesta dan manusia. Ini menjadikan pandangan-pandangannya mencerminkan sebuah pandangan teologis tersendiri. Dalam pandangan ar-Razi ruang semesta membentang sangat luas dan tak terbatas, di mana Tuhan merupakan sentralnya. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Mutlak yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Kekuasaan Tuhan tidak terbatasi oleh ruang waktu.
Kehendak (iradah) Tuhan menyemarakkan kehampaan semesta dengan menciptakan alam dari substansi sederhana (basith) menjadi substansi yang terbentuk (murakkab), kemudian dengan pancaran kehendak-Nya pula Tuhan membangkitkan gerak dinamika alam.[4] Kehendak Tuhan untuk mencipta telah memecah kegelapan dan kesunyian semesta dengan dinamika gerak dan keteraturan hukum alam (sunnatullah).
Manusia pada hakekatnya hanyalah kehidupan yang sangat terbatas (mikrokosmos), sekedar bentukan dari materi dan ruh yang menempati ruang terbatas di tengah ketidakterbatasan ruang dan waktu. Pada saatnya unsur materi pada manusia, berupa jasad (fisik) akan hancur, kembali pada materi awal, sementara ruh yang menjadi esensi jati diri manusia akan kembali pada keabadiannya semula.
Seluruh penciptaan ini ditujukan untuk kemaslahatan ruh yang telah dibantu bersemayam di alam materi dalam wujud manusia. Bagi manusia, perpindahan ruh dari kehampaan ruang tak terbatas ke dalam materi yang tertentu merupakan suatu proses penyadaran (pendidikan) dari kebodohan yang telah mamalingkan dari jalan kebenaran dan kebahagiaan (as-sa’adah) hakiki kepada kesenangan (al-ladzdzah) sesaat.
Keterjebakan jiwa pada materi merupakan akibat ketidaktahuannya atas hakekat kebahagian sejati, yang karenanya Tuhan menganugerahkan jiwa rasional yang terpancar dari jiwa universal-Nya, sehingga memungkinkan manusia belajar mengetahui hakekat kehidupan, dirinya, kebahagiaan, serta keharusan meningkatkan potensi diri. Keterjebakan tersebut di sisi lain juga memberi kesempatan ruh untuk belajar melalui pengalaman. Karena itu dapat dikatakan bahwa kehendak Tuhan untuk menciptakan kehidupan ini tidak sia-sia (ma khalakta hada bathila), tetapi sebagai kesempatan untuk belajar hingga manusia dapat beroleh kebahagiaan hakiki.
Hidup merupakan sebuah kesempatan untuk keluar dari kebodohan menuju kebahagiaan sejati melalui proses belajar. Untuk sampai pada kebahagiaan sejati perlu didahului dengan proses penyadaran atas hakekat diri dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak didahului proses penyadaran berarti kebahagiaan dalam ketidaktahuan atau kebodohan, yang berpotensi menjerumuskan ke arah penyimpangan, seperti halnya jiwa yang bodoh tertarik pada meteri.
Berdasarkan filsafat ar-Razi kehidupan diarahkan untuk mencari kebahagiaan hakiki, yang dapat diperoleh dengan cara membebaskan ruh dari jeratan materi. Kebahagiaan yang ada dalam kehidupan dunia bukan kebahagiaan yang sebenarnya, tetapi hanya kebahagiaan yang semu, bahkan diwarnai dengan rasa sakit dan penderitaan. Namun demikian ar-Razi menilai hidup bukan suatu kesia-siaan, melainkan sebuah kesempatan yang sangat berharga. Kebahagiaan akhirat --yakni terbebasnya jiwa dari pengaruh materi-- dapat diperoleh dengan pengembangan akal secara optimal. Untuk itu diperlukan dukungan rasa yang sehat, di mana seluruh fa’al tubuh memperoleh porsi perhatian yang cukup, hingga masing-masing dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan perlakuan masing-masing unsur jiwa secara seimbang (ta’dil af’al an-nufus). Ini berarti ada keterkaitannya dengan cara hidup yang tepat. Ar-Razi menjadikan sifat-sifat Tuhan sebagai acuan dalam menjalani kehidupan. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Pandai, Maha Adil dan Maha Pengasih, yang sifat-sifat-Nya harus ditiru manusia (takhalluq bi akhlakillah atau tasabbuh billah). Manusia dituntut belajar agar menjadi pandai, mampu bersikap adil dan bijaksana terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya, serta penuh kasih sayang terhadap sesama. Ar-Razi mencela kehidupan kaum hedonis yang hanya memperturutkan hawa nafsu, sekaligus mencela para rahib dan agamawan (zahid) yang memilih jalan penyerahan diri secara total dengan cara lebih banyak menghabiskan waktu di tempat ibadah, serta mengabaikan tuntutan hidup yang lain.[5]
Kehidupan ideal didasarkan pada pertimbangan kesehatan jiwa dan raga sebagai standar idealitas kehidupan. Untuk itu manusia berkewajiban memelihara karunia Tuhan berupa fisik dan psikis dengan perlakuan seimbang. Keseimbangan diri manusia itulah yang nantinya membentuk pribadi paripurna, yang tercermin dalam prilaku kehidupannya sehari-hari. Keberhasilan individu dalam melakukan kontrol pribadinya berarti berhasil menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Dalam hal ini akal memainkan beberapa fungsi: pertama, mencari dan menemukan kebenaran hingga mampu menentukan baik tidaknya tata nilai yang ada, sekaligus berperan sebagai alat kontrol pribadi agar dapat menyesuaikan diri dengan tata nilai atau kebenaran yang diyakini. Kedua, akal berperan dalam mengembangkan ilmu dan menciptakan berbagai perabot (teknologi) untuk memudahkan dalam memenuhi hajat kehidupannya.
Prinsip keseimbangan juga menjadi landasan dalam tata pergaulan kemasyarakatan, di mana demi kebaikan bersama antar anggota masyarakat perlu dijalin hubungan saling menguntungkan dengan cara saling membantu dan bekerja sama. Karena itu kehidupan ideal (as-Sirah al-Fadlilah) menuntut keadilan dalam kerja sama kemasyarakatan. Adalah tidak layak bila seseorang harus membayar terlalu mahal untuk sebuah jasa, karena hal itu berarti kerugian di satu pihak, dan sebaliknya pelayanan terlalu besar dibanding imbalan sama halnya dengan perbudakan.
Dengan demikian implikasi dari tujuan hidup berdasarkan filsafat ar-Razi terhadap perumusan tujuan pendidikan kurang lebih selaras dengan gagasan yang oleh kalangan pemikir pendidikan diproyeksikan sebagai tujuan pendidikan menurut Plato, yakni membangun manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial.[6] Sebagai makhluk pribadi manusia memiliki potensi-potensi psikis yang harus dibina dan dikembangkan agar dapat menjadi pribadi yang sehat secara fisik maupun mental, yang implikasinya juga akan tampak dalam melaksanakan tanggung jawab sosial.
Pendidikan perlu diarahkan untuk menuju suatu cita ideal kemasyarakatan maupun disposisi pribadi, baik secara fisik, mental maupun moral.[7] Masing-masing pribadi perlu mempersiapkan diri secara optimal dalam menghadapi pergaulan di tengah masyarakat, dengan meningkatkan kemampuan diri secara memadai baik intelektual maupun moral. Untuk itu, masing-masing individu perlu mengembangkan profesi sesuai dengan bakat dan kesempatan yang dimiliki, untuk kemudian diabadikan di tengah-tengah masyarakat. Pandangan ar-Razi memungkinkan di mana ia memandang bahwa investasi paling terhormat, paling aman, serta paling menguntungkan adalah dalam bentuk keahlian yang senantiasa diperlukan setiap masyarakat atau negara dari waktu ke waktu.[8]
Segala bentuk disposisi pribadi tersebut merupakan pilar penopang penataan hubungan dan kerja sama kemasyarakatan dengan tatanan yang berkeadilan atas dasar saling mengasihi satu sama lain. Pada setiap pribadi perlu ditanamkan cara hidup seimbang, dalam bentuk hidup hemat tetapi tetap memelihara rasa kesetiakawanan sosial. Prinsip keseimbangan mengupayakan agar tidak ada pihak yang diperbudak, juga tidak ada yang terlalu diuntungkan sehingga ada orang lain yang dirugikan.
B. Konsepsi Ilmu dalam Filsafat ar-Razi,
Berkenaan dengan orientasi disposisi pribadi berdasarkan pandangan ar-Razi tentang realitas, belajar dapat diartikan sebagai upaya mendayagunakan daya natural dan daya mekanis dalam diri manusia, dengan jalan mengoptimalkan peran daya pikir (an-natiqah). Disposisi mental, intelektual, dan moral yang terbentuk dalam diri individu diharapkan dapat mendasari jalinan keserasian diri manusia dengan Pencipta dan alam semesta.[9]
Kebahagiaan sejati --yakni terbebasnya jiwa dari jeratan materi-- yang menjadi tuntutan hidup dapat diraih dengan memaksimalkan peran dan kemampuan akal. Kebahagiaan tersebut dapat dicapai manakala kehidupan bersama jasad di dunia dipenuhi dengan sikap dan tindakan yang sejalan dengan norma-norma kebaikan. Hidup merupakan kesempatan untuk belajar dan berbuat baik, karena nilai manusia ditentukan oleh keberhasilannya meningkatkan potensi diri serta kemampuannya berbuat adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Itu berarti pendidikan harus diarahkan pada pengenalan diri individu dan lingkungannya.
Hal-hal yang harus ditanamkan dalam pribadi individu melalui proses pendidikan meliputi pengetahuan yang menjamin optimalisasi kemampuan akal, agar kecerdasan pikiran meningkat serta tumbuh kesadaran untuk berbuat adil. Ar-Razi menawarkan filsafat sebagai ilmu yang memungkinkan manusia sampai pada tujuan tersebut. Peningkatan potensi akal menghindarkan individu dari irasionalitas, berupa cara hidup yang hanya berpijak pada kebiasaan (tradisi) ataupun intuisi mistis, termasuk menghindari kehidupan keagamaan yang tidak memiliki dasar kebenaran secara logis.[10]
Akal manusia, dengan seperangkat potensi inderawinya cukup memadai untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran hakiki. Ar-Razi tidak mentransendensikan ilmu sebagaimana al-Ghazali dengan epistemologinya yang bercorak transendental ilmiah. Al-Ghazali mengakui keberadaan (eksistensi) indera dan akal, tetapi instrumen insaniah tersebut dipandang sangat terbatas daya capainya, sehingga tidak mampu menjelaskan kebenaran secara hakiki.[11]
Ar-Razi yang hidup dengan trend rasionalismenya berprinsip bahwa ilmu pada hakekatnya merupakan ilmu insaniyah, hasil olah pikir dan daya tangkap indera manusia. Dengan semangat induktif yang dibawanya, ar-Razi berusaha memahami berbagai persoalan dengan mengedepankan daya nalar. Untuk memahami berbagai gejala alam, membongkar misterinya hingga melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan, tidak diperlukan petunjuk wahyu,[12] tetapi cukup dengan kekuatan logika, tradisi keilmuan yang diwariskan orang terdahulu, fakta-fakta serta tuntutan naluri manusia sendiri. Akal manusia merupakan pancaran cahaya Ilahi yang memungkinkan mereka menjangkau berbagai macam pengetahuan, termasuk pengetahuan tertinggi, ma’rifat al-Bari. Hal ini berlaku bagi setiap manusia yang berhasil meningkatkan daya nalarnya dengan baik, karena pada dasarnya setiap pengetahuan dapat diperoleh setiap orang.[13]
Pengetahuan bukan sesuatu yang sakral dan tidak seharusnya disakralkan. Pengagungan terhadap Tuhan bukan disandarkan pada keyakinan atas mitos-mitos irasional, melainkan didasarkan kenyataan dan pemahaman proses penciptaan alam secara rasional, sehingga manusia mampu memahami hakekat dirinya di hamparan semesta. Ar-Razi menyajikan pandangan tentang masalah penciptaan dengan mengedepankan perlunya bahan serta proses yang harus dilalui. Dalam konteks sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat tumbuh dan berkembang melalui perhitungan rasional empiris yang cermat. Keterjebakan manusia pada kisah-kisah keajaiban tanpa proses yang pasti, hanya akan semakin menjauhkan mereka dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang proses pengembangannya murni berpijak pada kenyataan.
Karena itu, pendidikan perlu menitikberatkan pada pembinaan aspek kognitif. Alat terpenting untuk memperoleh dan menguji pengetahuan adalah akal, bukan perasaan, iman, ayat-ayat kitab suci atau lainnya. Dominasi emosional atas rasionalitas tidak jarang menjadi penghambat pengembangan ilmu pengetahuan. Sejak Descartes , ortodoksi agama sering dipandang sebagai kendala perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan karenanya telah jatuh banyak korban. Agama dan filsafat adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia, sedangkan sains dan teknologi pada dasarnya bersifat netral, dan akan digunakan orang sesuai dengan pandangan hidupnya, baik yang berasal dari keyakinan agama maupun filsafat.[14]
Di dunia Islam, sejak abad pertengahan, pandangan Islam ortodoks telah dengan terang-terangan memusuhi ‘ulum al-awa’il dan sains rasional. Dengan pandangan kefilsafatannya, banyak ulama muslim yang menyerang keberadaan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Kalangan ilmuan muslim sejak al-Ghazali hingga Ibn Khaldun dan banyak ulama masa sesudahnya menunjukkan sikap apatis, bahkan mendekati permusuhan terhadap sains dan teknologi, padahal karya-karya mereka merupakan karya-karya filosofis. Hal ini berlanjut hingga periode yang lebih kemudian, di mana tradisi al-Kindi untuk memperoleh pengetahuan dari manapun didapat sudah terhenti, yang dengan sendirinya semakin memperlemah etos keilmuan umat.[15]
Dalam perilaku kemasyarakatan, pengagungan emosi atas pertimbangan rasional cenderung berakibat merusak tatanan kemanusiaan. Ar-Razi menyayangkan besarnya kecenderungan sikap irasional dalam kehidupan sosial dan keagamaan, yang sering kali menimbulkan pertumpahan darah antar manusia. Konflik-konflik antar kelompok tidak hanya terjadi antar penganut agama yang berbeda, melainkan juga berlangsung dalam satu agama, bahkan di antaranya mewarnai percaturan umat Islam yang kini hampir kehabisan energi karena banyaknya pertikaian internal.[16]
Sebaliknya, penghargaan tinggi terhadap akal berdampak pada timbulnya teologi atau filsafat hidup yang bercorak liberal.[17] Optimalisasi pembinaan kognisi manusia merupakan jalan yang memungkinkan untuk menghindari sikap-sikap emosional dalam menjalani hidup. Karena itu, ar-Razi memilih Filsafat sebagai paradigma keilmuan yang seharusnya diajarkan dan dilalui dalam fase pembelajaran, karena Filsafat lebih mengutamakan rasionalitas dari pada emosionalitas.
Hal ini dapat dilihat sebagai muatan prinsip pembebasan dalam pemikiran ar-Razi, sebagaimana gagasan revolusioner Erich Fromm dan Paulo Freire. Keprihatinan ar-Razi kurang lebih selaras dengan Freire yang memandang bahwa manusia cenderung tidak biasa menangkap sendiri tugas-tugas zamannya, tetapi hanya menerima petunjuk atau penafsiran yang dibuat kalangan elit tertentu. Manusia tergiring untuk bertindak tidak berdasarkan pertimbangan rasionalitasnya sendiri, melainkan atas dorongan sesuatu di luar alam kesadarannya; emosi dan irasionalitasnya. Itu berarti manusia telah kehilangan jati diri (eksistensi); nama, harapan, dan kepercayaannya.[18] Ar-Razi memilih pengutamaan akal sebagai upaya pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan, serta jeratan mitos-mitos yang diciptakan kekuatan sosial, agar manusia tidak kehilangan jati dirinya sebagai subyek yang dapat menentukan jalan hidupnya sendiri.
Dengan optimalisasi rasionalitas ar-Razi mengembalikan kebutuhan fundamental manusia, yakni tanggung-jawab atas keputusan-keputusannya sendiri. Dengan begitu manusia akan terhindar dari upaya orang lain yang akan memanfaatkan irasionalitas dan ketidaksadarannya untuk keuntungan pribadi. Optimalisasi kemapuan akal, di samping diperlukan sebagai upaya mengangkat manusia dari keterbelakangan sosial ekonomi, juga sebagai wahana pembebasan dari kungkungan berbagai kondisi dan pandangan hidup yang tidak menguntungkan, sehingga manusia dapat hidup secara lebih manusiawi.
Dengan demikian manusia akan terhindar dari dehumanisasi yang tercermin dalam sikap hidup mereka di tengah masyarakat. Manusia dapat hidup secara lebih mandiri, optimis dan toleran terhadap orang lain bilamana pikiran rasional mendasari keyakinan hidupnya. Ketakutan terhadap mati dapat dihindari asal masing-masing konsekwen dengan keyakinannya. Munculnya permusuhan baik mengatasnamakan agama atau kelompok dapat dihindari dengan jalan melihat persoalan secara proporsional. Pengkultusan dapat mengakibatkan seseorang bertindak mengikuti kehendak orang lain tanpa lebih dulu mempertimbangkan berbagai akibatnya.
Peningkatan kualitas akal akan bermuara kepada tatanan moralitas, sehingga dapat mengangkat derajat manusia dengan kemuliaan akhlaknya melalui kontrol pribadi, serta membangun kesadaran akan tanggung jawab Ilahiyyah berbekal pengetahuan tentang Pencipta (ma’rifat al-Bari). Peningkatan kualitas penggunaan akal juga ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan yang dapat membantu manusia melaksanakan tanggung jawab kemanusiaannya. Selain diperlukan dalam mengatur tata hubungan kemasyarakatan, peningkatan kualitas akal juga diarahkan untuk memahami gejala-gejala alam, yang nantinya dapat mengantarkan pada penemuan-penemuan ilmiah, pengembangan teknologi, serta pemanfaatan potensi-potensi alam sebaik mungkin.[19]
Peningkatan kualitas kognisi tidak cukup diartikan dengan transfer pengetahuan atau penumpukan hafalan. Karena itu, ar-Razi berbeda dengan kecenderungan umumnya kalangan sophis. Ia tidak condong pada kajian tata bahasa, sastra atau kefasihan bicara, bahkan tidak mengkategorikan hal-hal tersebut sebagai ilmu dan kebijaksanaan (al-Ulum wa al-hikmah). Ar-Razi lebih dekat kepada Sokrates atau Plato yang menekankan pembinaan daya pikir (kecerdasan) dan kebijaksanaan (al-uqul wa al-hikmah). Pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia ke arah tersebut di antaranya: pengetahuan tentang berbagai konvensi dan aturan demonstrasi logis (syurut al-burhan wa al-qawaninuhu), penguasaan tingkat tinggi bidang matematika (ar-riyadli), fisika (at-tabi’i), dan metafisika (al-ilm al-Ilahi).[20]
Tujuan hidup yang tertinggi adalah mencari kebenaran universal, di mana gagasan yang benar bersifat kekal seperti halnya hukum matematika. Pendidikan menuntut pengembangan daya pikir kearah yang lebih baik, bukan ditujukan untuk hal-hal yang kurang prinsip. Karena itu ar-Razi memandang estetika sebagai suatu yang kurang begitu penting, karena dikhawatirkan akan lebih menonjolkan hiasan dari pada substansi, diibaratkan dengan orang bodoh yang berpakaian indah. Penguasaan bidang keilmuan tertentu secara profesional lebih diutamakan, mengingat keberadaannya dipandang sebagai investasi terbaik dalam membekali individu memasuki lingkungan pergaulan kemasyarakatan.[21]
C. Konsep Manusia ar-Razi dan Perumusan Metode Pendidikan.
Substansi filsafat manusia ar-Razi dekat sekali dengan kajian psikologi, sebuah disiplin yang sangat urgen dalam pendidikan. Psikologi pendidikan telah menjadi disiplin tersendiri, sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami manusia (subyek didik) dengan tujuan dapat memperlakukannya dengan lebih tepat dalam proses belajar mengajar. Pendidikan akan berjalan efektif manakala cara-cara yang digunakan disesuaikan dengan kondisi (psikis) anak didik.
Filsafat manusia ar-Razi memberikan gambaran tentang tipologi kepribadian yang didasarkan pada keadaan kejiwaan semata-mata. Pemikiran yang Platonis menempatkan jasad sekedar aparat dan tempat bersemayam bagi jiwa. Plato membedakan jiwa ke dalam tiga bagian:[22] fikiran (logos) yang berkedudukan di kepala, kemauan (thumos) yang berada di dada, dan hasrat yang berkedudukan di perut.
Kecenderungan pada salah satu unsur jiwa tersebut akan membentuk tipe kepribadian tertentu. Teori ini digunakan Plato untuk menjelaskan struktur masyarakat. Dalam Negara idealnya “Republik”, masyarakat dari segi fungsinya dibagi ke dalam tiga golongan: pertama, golongan pemimpin pemerintahan, yakni orang yang dikuasai jiwa fikirnya, kedua, golongan tentara yang dikuasai kemauan, dan ketiga golongan rakyat biasa yang dikuasai hasrat.
Ar-Razi juga membedakan jiwa ke dalam tiga bagian, hanya saja terdapat perbedaan spektrum pemahaman dan implikasinya. Dalam pemikiran ar-Razi, jiwa fikir atau jiwa rasional (an-nafs an-natiqah) dipahami pula sebagai jiwa ketuhanan (an-nafs al-Ilahiyyah), setelah memadukan pandangan Plato tersebut dengan pemikiran Aristoteles.
Sebagaimana ontologi esensialisme, filsafat ar-Razi menempatkan manusia sebagai bagian dari alam, yang karenanya tidak dapat dilepaskan dari sifat alam yang natural (at-tabi’ah) dan mekanistik (al-qisriyyah). Manusia dengan tiga unsur jiwanya merupakan bagian dari hukum fisika yang tidak luput dari hukum gerak (al-harakah). Hukum energi membentuk daya-daya tertentu yang bergerak karena didorong suatu kehendak (al-iradiyyah) atau bergerak tidak menurut kehendak. Dalam diri manusia sifat-sifat tersebut membentuk daya natural dan daya mekanis yang terdapat dalam unsur an-nabatiyyah dan asy-syahwaniyyah. Keduanya dituntun oleh daya di luar daya natural dan daya mekanis, yakni daya an-natiqah, sehingga manusia dapat menyerasikan diri dengan Allah yang menciptakannya dan alam yang menyertai kehidupannya.[23]
Konsep kepribadian ar-Razi dibangun berdasarkan segi-segi psikisme manusia. Secara teoritis, mekanisme psikis manusia terbentuk oleh unsur-unsur jiwa, di mana unsur an-natiqah dipandang sebagai potensi penalaran (kognitif). Kegiatan pendidikan merupakan upaya peningkatan potensi tersebut, yang memungkinkan individu mencapai tingkat intelektualitas dan moralitas tertinggi, tingkatan filosofis. Unsur asy-Syahwaniyyah memberi dorongan biologis, sebagai bagian dari pendukung sistem biokimiawi tubuh yang juga sangat diperlukan dalam menunjang kerja otak. Adapun unsur al-Ghadlabiyyah menyimpan potensi emosional, menyangkut perasaan, kesenangan dan perasaan tidak senang atau sakit serta rasa harga diri.
Kehidupan psikis (al-ahwal an-nafsiyyah) manusia didasarkan pada integrasi ketiga unsur jiwa tersebut. Ketiga unsur tersebut tidak ada yang dipandang buruk, selagi diperlakukan secara seimbang. Disharmoni yang terjadi dalam memberi perlakuan terhadap ketiganya dapat berdampak buruk bagi diri manusia yang bersangkutan. Sebaiknya penempatan secara harmonis akan menjamin terbentuknya pribadi-pribadi utama (an-nafs al-fadlilah).
Perbedaan kepribadian manusia disebabkan perbedaan mekanisme perlakuan ketiga unsur jiwa tersebut. Pribadi stabil terbentuk oleh perlakuan unsur-unsur jiwa tersebut secara harmonis, dan pribadi menyimpang terjadi manakala terjadi kecenderungan berlebihan pada salah satu unsur jiwa. Pengutamaan pada salah satu unsur disebut sebagai sikap berlebihan, dan menguranginya di bawah proporsi (taqsir) yang semestinya berarti kecerobohan.
Ar-Razi menggabungkan aspek-aspek psikis tersebut dengan mekanisme fisik manusia. Dalam analisis psikologisnya, ia menunjukkan pengaruh penyimpangan kepribadian secara psikiatris (ar-Ruhani). Perlakuan berlebihan pada daya pikir dapat mengakibatkan lemahnya fisik, ditandai dengan kerentanan terhadap penyakit, bahkan dapat meningkatkan pada gangguan saraf otak. Pemenuhan secara berlebihan pada tuntutan biologis (hubb al-ladzdzah) akan mengakibatkan gangguan organik yang berhubungan dengan hati, di antaranya dengan munculnya berbagai penyakit yang diakibatkan oleh komplikasi kimiawi tubuh. Adapun pengutamaan pada dorongan emosional akan berakibat timbulnya gangguan organik yang berhubungan dengan jantung, seperti depresi dan neurosis.[24]
Analisis psikologis ar-Razi memiliki keserupaan dengan psikoanalisis Sigmund Freud yang juga membagi jiwa ke dalam tiga bagian; Das Es, Das Ich dan Das ueber Ich.[25] Struktur kepribadian terbangun oleh ketiga aspek kejiwaan tersebut, yang masing-masing saling memiliki keterkaitan. Aspek Das Es menunjukkan pada aspek biologis, sama halnya dengan an-nafs an-nabatiyyah yang berorientasi pada prinsip kenikmatan dan menghindari ketidak-enakan.
Aspek Das Ich adalah energi psikologis yang memberi dorongan untuk berhubungan dengan realitas, sebagaimana an-nafs al-ghadlabiyyah yang juga berorientasi pada pemenuhan kepuasan emosional di tengah masyarakat. Namun terdapat perbedaan antara keduanya, di mana Freud menempatkan prinsip rasionalitas dalam Das Ich, sementara ar-Razi menempatkan prinsip rasionalitas dalam porsi tersendiri, yakni an-nafs an-natiqah. Aspek Das ueber Ich menunjukkan pada kecenderungan terhadap nilai-nilai susila kemasyarakatan, yang kurang lebih sama dengan an-nafs al-fadlilah dalam pemikiran ar-Razi.
Seperti halnya ar-Razi, tipe kepribadian manusia dalam pemikiran Freud juga sangat ditentukan oleh kecenderungan pada masing-masing unsur jiwa. Bila sebagian besar energi psikis didominasi Das Es, maka akan terbentuk pribadi yang impulsive, dikarenakan kuatnya dorongan-dorongan primitive. Bila Das Ich dominan, maka akan terbentuk pribadi yang mengutamakan sikap dan tindakan realitas dan rasional logis. Adapun kecenderungan moralis diakibatkan dominasi Das ueber Ich, yang dalam tahap tertentu kadang kurang memperhatikan pertimbangan rasional. Freud melalui telaah a posteriori-nya mendekati masalah kejiwaan secara mekanis dengan memanfaatkan ilmu alam dan ilmu pasti. Dengan pendekatan tersebut Freud menyuguhkan uraian lengkap mengenai tahap-tahap perkembangan individu, termasuk berbagai macam mekanis pertahanan (defence mechanism) Das Ich.[26]
Untuk menganalisis potensi-potensi psikis, ar-Razi memadukan pendekatan kefilsafatan dan medis. Karena itu disamping ada beberapa segi perbedaan, dan sekalipun antara ar-Razi dan Freud berbeda dalam menempatkan kedudukan rasio dalam sistem kejiwaan, terdapat kesamaan pandangan antara keduanya, yakni bahwa rasionalitas merupakan perangkat pengendali utama bagi kecenderungan jiwa.
Dalam perkembangannya, ar-Razi menyederhanakan dorongan psikis manusia ke dalam dua bagian, yakni dorongan atas pertimbangan akal dan dorongan nafsu. Dalam hal ini pemikiran ar-Razi tampak lebih dekat dengan Psikologi Analitisnya salah seorang murid Freud, Carl Gustav Jung, khususnya berkenaan dengan analisis struktur kesadaran. Dalam pemikiran ar-Razi, an-nafs an-natiqah dipandang sebagai daya yang menyadarkan manusia, sementara an-nafs asy-syahwaniyyah sebagai daya yang tidak tahu apa-apa (tak sadar). Ketidaksadaran terjadi bila unsur asy-syahwaniyyah terlalu dominan dalam perilaku seseorang, sehingga unsur an-natiqah tidak dapat berfungsi optimal, yang di antaranya ditandai dengan kurangnya rasa malu. Ar-Razi menyebut keadaan ini sebagai lalai (al-ghaflah) atau lupa diri (al-sahw), yang menyebabkan tersingkapnya sesuatu yang semestinya disembunyikan.[27]
Di dunia pendidikan analisis psikologis ini memberikan nilai guna cukup besar, di antaranya untuk menentukan disposisi pribadi baik mental, moral, maupun intelektual. Dalam pemikiran ar-Razi, pendidikan dipandang sebagai media yang sangat efektif untuk menstabilkan insting-insting alami manusia. Dalam hal ini ar-Razi lebih menekankan aspek rasionalitas akal, mengingat keseimbangan psikis dapat dibangun dengan jalan pendayagunaan akal secara memadai. Oleh karena itu, rancangan program pendidikan perlu mengupayakan cara-cara yang memungkinkan peningkatan peran akal.[28]
Analisis psikologis tersebut juga membantu meneliti kepribadian bermasalah, sebagai dasar pemberian terapi yang tepat. Perhimpunan para Pencinta Filsafat di Mesir saat ini mengembangkan gagasan-gagasan ar-Razi tersebut ke dalam studi psikiatri modern (at-Tibb an-Nafsi al-Mu’asirah), Psikoterapi Keagamaan (‘Ilaj an-Nafsi ad-Dini), serta Psikoterapi ajaran Syari’ah (at-Tibb an-Nafs asy-Syar’i).[29]
Sumbangan teoritis ar-Razi yang masih relevan dan dapat lebih dikembangkan lagi hingga saat ini di antaranya tentang pengaruh kehidupan psikis terhadap kesehatan fisik. Pandangan tentang kecenderungan terhadap masing-masing unsur jiwa setidaknya juga telah menjadi pemikiran awal bagi kajian mengenai pengaruh emosionalitas terhadap rasionalitas. Dalam studi kependidikan saat ini, diakui adanya pengaruh faktor perasaan (emosi) terhadap kemurnian kecerdasan atau sifat cerdas seseorang. Kecerdasan yang memadai akan timbul bila terjadi pemusatan mental yang mampu menghindarkan hal-hal yang bersifat emosional.[30]
Dalam memandang potensialitas belajar, pandangan ar-Razi memperlihatkan adanya kecenderungan kearah Konvergensi, di mana perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan dan lingkungan. Aliran yang dipelopori Louis William Stern ini memandang faktor bawaan maupun pengalaman saling berpengaruh terhadap perkembangan individu. Faktor bawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman, demikian pula sebaliknya.[31] Hanya saja ar-Razi memandang setiap individu membawa bekal kecerdasan yang sama, sementara pandangan Konvergensi pada umumnya memandang masing-masing individu memiliki potensi dasar yang berbeda.
Perbedaan ini dapat dipahami mengingat konsep ar-Razi merupakan telaah yang masih sangat awal, sementara pandangan Konvergensi saat ini sudah berkembang lagi ke dalam beberapa variasi. Sekalipun para psikolog memandang faktor bawaan maupun pengalaman saling berpengaruh, namun ada sebagian yang lebih cenderung pada faktor bawaan, sementara sebagian lain condong pada faktor pengalaman.[32]
Dalam hal pembinaan Moral, ar-Razi menawarkan dua upaya (metode), yang dalam perspektif teori pendidikan saat ini biasa disebut rasionalisasi atau klarifikasi nilai (value clarification) dan pembiasan (conditioning). Melalui klarifikasi nilai diupayakan agar individu melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan setelah memahami berbagai konsekwensinya. Suatu perbuatan dapat dilakukan, apabila berdasarkan pertimbangan akal sehat tidak ditemukan di dalamnya akibat buruk (‘aqibah makruhah). Upaya klarifikasi ini digunakan untuk memahami cara hidup yang baik dan sehat menurut pertimbangan kesehatan. Ar-Razi juga menggunakan pola ini dalam merasionalisasikan siksa akhirat.[33]
Pembinaan moral dalam pemikiran ar-Razi mengarah pada pembentukan karakter jiwa, yang mengupayakan agar jiwa rasional (an-nafs an-natiqah) berfungsi optimal. Jiwa rasional sebagai pusat pengendali sistem kejiwaan sangat menentukan corak kepribadian individu, dan secara timbal balik kepribadian yang terbentuk akan mempengaruhi optimalisasi fungsi akal. Pribadi yang baik dapat dibina melalui pembiasaan (conditioning), yakni dengan penanaman disiplin dan latihan yang terus menerus. Kepribadian yang baik ditandai dengan keberhasilan nafsu di bawah kendali akal, yang untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan.[34]
[11] M. Bahri Ghazali , Konsep Ilmu menurut al-Ghazali, Suatu Tinjauan Psikologik-Pedagogik, Yogyakarta , CV. Pedoman Ilmu Jaya, hal. 70-5
[12] Pemikiran seperti ini dapat difahami, sebab Ar-Razi sebelum berkesimpu seperti ini karena ia sudah terlebih dahulu muslim dan secara tidak disadari telah dipengaruhi lingkungan Islam yang ada saat itu. Umat Islam pada waktu itu berada di puncak sejarah dan pandangan serta sikap hidup Islamy sudah begitu akrab dalam kehidupan.(Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 2003, Terjemahan Hamid Fahmy, dkk., Mizan, Bandung, hal. 156)
[13] Nasution, Filsafat dan Mistisisme, hal, 25. Simak pula Mahdi, Al-Farabi and the Fondation, hal. 8
[14] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung , PT. Remaja Rosdakarya, 1990, hal. 6-7 dan 111-2.
[15] Al-Ghazali menyatakan keharaman mempelajari Matematika, karena dikhawatirkan akan menjadikan seseorang condong pada Filsafat. Ibn Khaldun juga menyatakan sikap sinis terhadap orang Barat (bangsa Frank) yang mempelajari Filsafat, padahal tidak ada gunanya. Sikap serupa juga ditunjukkan beberapa ulama lain. Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan…, hal. 176-187. Abdus Salam, Sains dan Dunia Islam, terjemahan Ahmad Baiquni, Bandung, Pustaka, 1983, hal, 12-5
[16] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan refleksi Historis, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1996, hal 22
[18] Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, terjemahan Alois A. Nugroho, Gramedia, 1984, hal. 6
[20] Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, terjemahan Bumi Aksara, Jakarta, Bumi Aksara, 1986, hal. 32-3. Lihat pula ar-Razi, at-Tibb ar-Ruhani, hal. 43
[22] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-6, 1993, hal. 94-95. Teori ini pada masa kemudian dikembangkan banyak filosof muslim seperti ar-Razi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, bahkan dinukil para pemikir muslim yang lebih kemudian seperti al-Ghazali dan Ibn Khaldun. Teori ini pula yang memberi inspirasi Sigmund Freud dengan teori Psikoanalisisnya.
[31] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Bandung , Remaja Rosdakarya, 1995, hal 45
0 komentar:
Posting Komentar